Hargo.co.id, GORONTALO – Beberapa waktu terakhir, masyarakat Gorontalo dikejutkan oleh pernyataan Wali Kota yang memperkenankan pedagang berjualan di trotoar di ruas Jalan eks Andalas dan Hos Cokroaminoto.
Pernyataan tersebut, menurut Ar. Ir. Yohanes P. Erick A., S.T., M.Sc, arsitek sekaligus pemerhati tata kota, meski berniat baik untuk membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), justru menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati tata kota, arsitek, dan masyarakat umum, pakah kebijakan ini sejalan dengan aturan dan fungsi ruang publik kota yang telah ditetapkan.
“Kebijakan ini, di permukaan tampak humanis, berpihak pada rakyat kecil, namun pada tataran hukum dan prinsip tata ruang, menunjukkan anomali kebijakan publik,” kata dia.
Dimana, lanjut Yohanes, peraturan daerah yang disusun oleh pemerintah kota justru berpotensi dilanggar oleh kepala daerahnya sendiri. Peraturan Daerah Kota Gorontalo Nomor 2 Tahun 2017 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima secara tegas mengatur bahwa pedagang hanya boleh beraktivitas di lokasi yang telah ditetapkan pemerintah.
“Dalam dokumen perda tersebut disebutkan bahwa pedagang kaki lima dilarang melakukan kegiatan usaha di ruang umum yang tidak ditetapkan untuk lokasi PKL, dan menggunakan badan jalan atau trotoar sebagai tempat usaha tanpa izin yang sah,” tandasnya.
Diantaranya, bahu jalan depan RSUD, bahu jalan depan puskesmas, bahu jalan depan kantor instansi pemerintah, bahu jalan depan sekolah, trotoar, dan jembatan. “Klausul ini bersifat imperatif, bukan opsional. Tidak ada pengecualian waktu seperti siang, malam, atau musiman, dan tidak ada frasa selama tidak permanen,” tutur Yohanes.
Dengan demikian, ucap Yohanes, apabila trotoar digunakan untuk berdagang, meskipun hanya sementara,
hal itu tetap melanggar peraturan yang disusun oleh pemerintah kota sendiri.
“Ketika kebijakan izin berjualan di trotoar muncul tanpa merujuk mekanisme regulasi yang telah disusun, maka muncul paradoks tata kelola, aturan yang dibuat untuk menertibkan justru diabaikan atas nama empati sosial,” ujarnya. Dalam konteks tata ruang perkotaan, langkah ini, ucap Yohanes, berpotensi menimbulkan preseden yang membingungkan antara aturan, empati, dan kewenangan.
Masih kata Yohanes, kota adalah ruang yang tumbuh dari keteraturan dan rasa adil. Dalam catatan arsitektur perkotaan modern, kebijakan ruang harus dikelola dengan keseimbangan: memberi ruang ekonomi tanpa mengorbankan hak pejalan kaki dan kualitas ruang kota. “Trotoar adalah simbol peradaban, tempat dimana kota memperlihatkan seberapa beradab ia memperlakukan pejalan kaki.
Trotoar juga merupakan ruang demokrasi mikro, tempat setiap warga, tanpa memandang status ekonomi,
dapat berjalan di atas hak yang sama,” jelasnya. Jika trotoar dibiarkan menjadi pasar, maka kota telah kehilangan wajahnya, kata dia. Trotoar sejatinya bukan ruang dagang, melainkan ruang hak, ruang hidup bagi pejalan kaki, difabel, anak-anak, dan lansia dan sebuah infrastruktur sosial yang menjamin mobilitas warga tanpa hambatan. “Landasan hukumnya juga jelas. Yakni, Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 131 ayat 1, pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyebarangan, dan fasilitas lain,” papar Yohanes.
Sementara itu, dalam Permen PUPR Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan, tidak ada satu pun klausul yang mengizinkan aktivitas perdagangan di trotoar, baik permanen maupun temporer. “Penafsiran bahwa berjualan malam hari tidak melanggar jelas keliru secara hukum dan tata ruang,” kata dia.
Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyediakan tempat layak bagi PKL tanpa mengganggu fungsi ruang publik. Dengan demikian, Yohanes bilang, fungsi trotoar bersifat eksklusif untuk pejalan kaki, bukan aktivitas komersial apa pun.(Rls)